Emas dalam Aplikasi Medis dan Dentistry

Spread the knowledge

Di era lampau, emas tidak hanya berharga tinggi karena estetikanya saja tetapi ternyata juga digunakan dalam pengobatan. Berbagai budaya kuno, misalnya bangsa India dan Mesir menggunakan emas sebagai obat.

Sejarah Cina bahkan termasuk paling tua mencatatkan pengobatan menggunakan emas sekitar 2500SM (Huaizhi & Yuantao, 2001). Emas murni dipercaya dapat mengobati beberapa penyakit kulit seperti bisul, cacar, borok, dan ramuan obat yang mengandung emas dapat menyembuhkan penyakit sendi dan paru-paru.

Pada zaman alkimia, emas makin terkenal dipergunakan dalam bidang kesehatan. Alkimia termasuk cabang ilmu filsafat alam kuno, yaitu praktek filosofis dan protosains yang berasal dari masa Mesir Yunani-Romawi pada beberapa abad pertama Masehi.

Salah satu ramuan emas yang paling terkenal adalah aurum potabile atau aurum vitae, cairan berwarna kuning pekat yang dapat diminum. Penggunaan aurum potabile dengan berbagai resep dan indikasi semakin banyak berkembang dalam dunia medis sepanjang melenium awal sesudah Masehi.

Sampul buku Bartholomaus Kretschmar tentang aurum vitae

Pada abad ke 17, Bartholomaus Kretschmar membuat resep aurum vitae yang dipublikasikan sebagai obat yang ampuh untuk sifilis, edema, kegilaan, epilepsi, malaria, penyakit kuning, kusta, lupus, bisul, ruam kulit, fistula, dan kista.

Setelah dilakukan penelitian yang lebih lanjut pada masa modern ini, ramuan emas tersebut menunjukkan penghambatan enzim dan pertumbuhan sel, sehingga sangat mungkin ramuan tersebut memang memicu efek terapeutik pada pasien tumor dan penyakit menular.

Namun, pasien yang diobat dengan ramuan aurum vitae diasumsikan mengalami efek samping yang berbahaya terkait antimon dan merkuri yang terkandung pada ramuan sejarah tersebut.

Era Media Modern

Penggunaan emas dalam dunia medis modern dikaitkan pada karya awal abad ke-19 oleh Andre-Jean Chrestien dan Pierre Figuier (1765-1817), dua profesor dari Universitas Montpellier (Kean & Kean, 2008).

Figuier dan Chrestien bekerja sama menghasilkan karya penelitian mengenai penggunaan senyawa emas untuk pengobatan berbagai penyakit (Hunt L. B., 1979). Karya yang dipublikasikan pada tahun 1811 tersebut menyarankan penggunaan senyawa emas natrium klorida untuk pengobatan tuberkulosis dan sifilis.

Penggunaan emas untuk pengobatan tuberkulosis kemudian semakin terkenal pada tahun 1980 setelah Dr. Robert Koch, ahli bakteriologi dari Jerman, menemukan bahwa sianida emas K[Au(CN)₂] bersifat dapat menghentikan pertumbuhan bakteri penyebab tuberkulosis, tubercle bacillus.

Penemuan ini mendorong para ilmuwan dan dokter Eropa bereksperimen dalam berbagai senyawa kompleks emas untuk pengobatan tuberkulosis selama 40 tahun berikutnya (Kean & Kean, 2008).

Anggapan bahwa tubercle bacillus juga menyebabkan penyakit radang sendi (rheumatoid arthritis) mendorong penggunaan emas juga dilakukan untuk mengobati penyakit tersebut. Terapi emas untuk mengobati tuberkulosis pada akhirnya terbukti tidak efektif, namun sebuah studi yang disponsori Empire Rheumatism Council mengonfirmasi kemanjuran senyawa emas terhadap rheumatoid arthritis.

Sejak saat itu, senyawa emas digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit rematik dan inflamasi kulit (Fricker, 1996). Penggunaan senyawa emas untuk pengobatan ini dikenal sebagai chrysotherapy.

Kedokteran Gigi

Emas juga digunakan pada bidang kedokteran gigi. Pada awalnya, penggunaan emas untuk gigi lebih diutamakan untuk estetika dibanding untuk membantu kerja gigi. Bangsa Fenisia (yang berasal dari Timur Tengah pada 2500 SM-539 SM) dan Etruria menggunakan kawat emas untuk gigi.

Bangsa Romawi menemukan cara untuk membuat dental bridge dari kepingan emas. Penggunaan emas untuk gigi semakin berkembang terutama sejak abad-19. Seiring dengan perkembangan teknologi dan pengertian terhadap kerja gigi semakin baik, penanganan lubang gigi dengan foil emas mengalami kemajuan.

Segala material yang digunakan pada daerah mulut harus memiliki ketahanan dalam berbagai kondisi: panas, dingin, asam, basa, bahkan anaerob. Oleh karenanya, material yang tidak mudah bereaksi secara kimia, seperti emas, sangat cocok untuk digunakan untuk mengatasi permasalahan dalam mulut (Cascone, 2010).

Sumber: Emas Indonesia.
Kawat emas pada masa Kekaisaran Romawi digunakan untuk menopang gigi yang hilang

Emas digunakan untuk merestorasi bentuk gigi karena mengurangi kemungkinan bakteri masuk pada celah. Emas juga tahan korosi sehingga mungkin digunakan dalam waktu yang lama. Selain itu, emas memiliki biokompabilitas yang baik sehingga tubuh pasien tidak menimbulkan reaksi terhadap penggunaan emas.

Karena sifat emas yang lunak, penggunaan emas murni tidak digunakan, terutama untuk inlay, onlay, dan dental crown. Umumnya, emas digunakan dalam bentuk campuran 16k yang mengandung material lain seperti paladium, perak, tembaga, maupun timah, untuk mempertahankan bentuknya.

Sumber: Emas Indonesia, Prof. Dr. Ir. Irwandy Arif, M.Sc.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *